SOCIAL
COGNITIVE THEORY
A.
Sejarah
Singkat
Teori sosial kognitif terbentuk
dalam cakupan yang luas dari konsep teori dan telah di realisasikan di beberapa
bidang. Miller dan Dollart (1941) dengan jelas memperkenalkan apa yang mereka
sebut dengan teori pembelajaran sosial yang menjelaskan tentang peniruan
perilaku hewan dan manusia. Konsep teori pembelajaran sosial didasarkan pada
prinsip pembelajaran klasik dan ide motivasi dari Hull (1943). Teori
pembelajaran menjelaskan mekanisme dari perilaku.
Rotter pertama kali mengaplikasikan
prinsip pembelajaran sosial pada psikologi klinik (1954). Pada tahun 1962,
Albert Bandura menerbitkan sebuah artikel tentang pembelajaran sosial dan
tiruannya. Bandura dan Walters (1963) mengusulkan bahwa anak-anak dapat
menyaksikan anak-anak lain untuk belajar perilaku baru dan tidak membutuhkan
hadiah secara langsung. Jadi, seorang anak belajar dengan cara mengobservasi
perilaku anak-anak lain dan menghargai pemberian orang lain. Pada tahun 1969
Bandura mendeskripsikan dasar konsepsual untuk perubahan perilaku dengan
menegaskan pada teori pembelajaran tradisional.
Mischel (1973) mengusulkan pertama
kali gagasan kognitif yang membentuk sebuah dasar kognitif untuk teori sosial
kognitif. Stokols (1975) mengaplikasikan konsep pembelajaran observasi pada
penurunan risiko penyakit cardiovaskuler. Pada tahun 1977 Bandura menerbitkan
kerangka konsep yang lebih komprehensif untuk memahami perilaku manusia
berdasarkan perumusan kognitif yang diberi nama Teori Kognitif Sosial. Kerangka
konsep ini adalah versi yang dominan digunakan saat ini dalam mengkaji perilaku
kesehatan dan promosi kesehatan. Meskipun demikian, teori ini masih sering
mengacu pada Teori Belajar Sosial.
B.
Konsep
Dasar
Teori
social Kognitif menjelaskan bagaimana orang-orang mendapatkan dan
mempertahankan pola-pola perilaku tertentu, sementara juga menyediakan dasar
bagi strategi intervensi (Bandura, 1997). Mengevaluasi perubahan perilaku
tergantung pada faktor-faktor lingkungan, orang dan perilaku. Teori social
Kognitif menyediakan kerangka kerja untuk merancang, melaksanakan dan
mengevaluasi program.
Teori
social Kognitif memberikan kerangka konsep untuk memahami, memprediksi dan
merubah perilaku manusia. Teori ini mengidentifikasi bahwa perilaku manusia
sebagai interaksi antara faktor personal, perilaku dan lingkungan. Teori
social Kognitif sangat membantu dalam memahami dan memprediksi perilaku
kelompok maupun individu dan mengidentifikasi perilaku mana yang dapat
dimodifikasi atau dirubah.
Lingkungan
mengacu pada faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Ada lingkungan
social dan fisik. Lingkungan social termasuk anggota keluarga, teman dan masyarakat.
Lingkungan fisik adalah ukuran ruangan, suhu lingkungan atau ketersediaan
makanan tertentu. Lingkungan dan situasi menyediakan kerangka unntuk memahami
perilaku. Situasi mengacu pada kognitif atau mental dari lingkungan yang dapat
mempengaruhi perilaku seseorang.
Teori
social Kognitif mendefinisikan perilaku manusia sebagai triadic, dinamis dan
interaksi timbale balik dari faktor-faktor pribadi, perilaku dan lingkungan.
Menurut teori ini, perilaku individu adalah unik ditentukan oleh ketiga faktor
diatas. Sementara Teori
social Kognitif perilaku mmenjunjung tinggi gagasan bahwa konsekuensi respon
perilaku sebagian besar diatur melalui proses kognitif. Oleh karena itu,
tanggapan konsekuensi dari perilaku yang digunakan untuk membentuk ekspetasi
hasil, yang memberikan kemampuan manusia untuk memprediksi hasil dari perilaku
mereka, sebelum perilaku dilakukan. Selain itu, teori kognitif social
berpendapat bahwa sebagian besar perilaku dipelajari oleh dirinya sendiri.
Teori
social Kognitif adalah teori belajar yang didasarkan pada ide bahwa orang
belajar dengan mengamati apa yang orang lain lakukan dan bahwa proses berfikir
manusia adalah pusat untuk memahami kepribadian. Sementara kognitif social
setuju bahwa ada cukup banyak pengaruh pada perkembangan yang dihasilkan oleh
perilaku belajar yang ditampilkan dalam lingkungan dimana seseorang tumbuh,
mereka percaya bahwa individu adalah sama pentingnya dalam menentukan masalah
moral.
Teori
memberikan penekanan yang kuat pada kognisi seseorang yang menunjukkan bahwa
pikiran adalah kekuatan aktif yang konstruktif, selektif, melakukan perilaku
atas dasar – dasar nilai dan harapan. Melalui umpan balik dan timbale balik,
realitas seseorang terbentuk oleh interaksi lingkungan dan kognisi seseorang.
Selain itu, kognisi berubah dari waktu ke waktu sebagai fungsi pematangan dan
pengalaman.
Teori kognitif social
mempengaruhi perubahan melalui fase-fase:
1. Peningkatan
dan motivasi individu terhadap target perubahan perilaku
2. Pelatihan,
sehingga individu dapat memperoleh kemampuan merubah perilaku yang spesifik.
3. Pengembangan
jaringan kerjasama yang mendukung sehingga perilaku baru dapat dipelihara.
4. Pemeliharaan
perilaku melalui penguatan
5. Penyamarataan
semua tingkat interaksi, dari keluarga hingga masyarakat.
Inti dari Teori
social Kognitif adalah “reciprocal determinism” antar kognisi, perilaku dan
lingkungan. Tidak hanya memfokuskan pada pembentukan perilaku secara otomatis
oleh kekuatan lingkungan, teori ini menekankan pentingnya proses pemikiran
intervensi (informasi, penerimaan, penyimpanan dan pembenaran) dan control diri
dalam menunjukkan perilaku. Pembelajaran banyak terjadi melalui symbol atau pengalaman
pengalaman orang lain dipengaruhi oleh faktor social. Proses pengaturan diri,
termasuk menghasilkan dorongan sendiri dan konsekuensi, ditonjolkan dalam teori
ini. Perilaku dapat dijelaskan dengan istilah interaksi yang saling
mempengaruhi yang terjadi secara terus – menerus antara kognitif. Perilaku dan
lingkungan yang diperintah oleh self efficacy, yang merupakan mekanisme
kognitif.
Self
efficacy adalah merupakan konsep inti dalam pelaksanaan Teori
social Kognitif di promosi kesehatan. Menurut teori ini, harapan hasil dan
keyakinan sangat penting dalam merubah perilaku. Sebuah harapan hasil merupakan
suatu perkiraan bahwa suatu perilaku dapat memberikan hasil. Self efficacy
adalah kemampuan diri seseorang dapat dengan sukses melakukan suatu perilaku.
Seseorang dengan self efficacy yang tinggi akan lebih percaya diri terhadap
kemampuan mereka dalam melakukan perubahan perilaku karena itu akan lebih mudah
melakukannya, dengan intensitas yang besar dan lebih mantap dalam merespon
kegagalan awal daripada orang dengan self efficacy rendah.
Teori
social Kognitif menjelaskan bagaimana orang memperoleh dan memelihara pola
perilaku tertentu, dan juga memberikan dasar strategi intervensi. Penilaian
perubahan perilaku tergantung pada faktor lingkungan, personal dan perilaku.
Model Konsep :
Menurut
gambar diatas, pertama : interaksi antar personal dan perilaku melibatkan
pengaruh pikiran dan tindakan seseorang. Kedua: Interaksi antara personal dan
lingkungan dan melibatkan kepercayaan seseorang dan kompetensi kognitif yang
dikembangkan dan dimodifikasi oleh pengaruh social dan struktur dalam
lingkungan. Interaksi ketiga, yaitu antara lingkungan dan perilaku, melibatkan
perilaku seseorang yang ditentukan oleh aspek lingkungan mereka dan dalam
perubahannya oleh lingkungan.
Ketiga
faktor tersebut (lingkungan, personal, perilaku) saling mempengaruhi secara
terus menerus. Perilaku tidak semata mata hasil dari lingkungan dan personal,
seperti halnya lingkungan tidak saja hasil dari personal dan perilaku.
Lingkungan membentuk model untuk perilaku. Pembelajaran observasi terjadi
ketika seseorang melihat tindakan orang lain dan penguatan yang diterimanya.
Terdapat
2 cara pembelajaran dalam Teori social kognitif yaitu belajar melalui
pengamatan (observational learning) dan belajar melalui perbuatan (enactive
learning)
1. Observational
Learning
a. Fungsi
Observational Learning
Sebagian besar perilaku manusia dan
ketrampilan kognitifnya dipelajari melalui pengamatan melalui model. Fungsi
observational learning adalah sebagai berikut :
1) Modeling
dapat mengajari observer ketrampilan dan aturan-aturan berperilaku
2) Modeling
dapat menghambat ataupun memperlancar perilaku yang sudah dimiliki orang
3) Perilaku
model dapat berfungsi sebagai stimulus dan isyarat bagi orang untuk melaksanakan
perilaku yang sudah dimilikinya.
4) Modeling
dapat merangsang timbulnya emosi. Orang dapat berpersepsi dan berperilaku
secara berbeda dalam keadaan emosi tinggi
5) Symbolic
modeling dapat membentuk citra orang tentang realitas social karena
menggambarkan hubungan manusia dengan aktivitas yang dilakukannya.
b. Proses
Observasional Learning
Belajar mencakup
pemrosesan informasi. Kekuatan modeling terletak pada kemampuannya untuk
mempengaruhi proses tersebut. Observasional learning memerlukan empat macam
proses utama:
1) Proses
memperhatikan (attentional processes)
Jika orang belajar melalui modeling, maka
mereka harus memperhatikan dan mempersepsi
perilaku model secara tepat. Tingkat keberhasilan belajar itu ditentukan
oleh karakteristik model maupun karakteristik pengamat itu sendiri.
Karakteristik model yang merupakan variable penentu tingkat perhatian itu
mencakup frekuensi kehadirannya, kejelasannya, daya tarik personalnya, dan
nilai fungsional perilaku model itu. Karakteristik pengamat yang penting untuk
proses perhatian adalah kapasitas sensorisnya, tingkat ketertarikannya,
kebiasaan persepsinya dan reinforcement masa lalunya.
2) Proses
retensi (retention processes)
Agar efektif, modeling harus disimpan
dalam ingatan. Retensi ini dapat dilakukan dengan cara menyimpan informasi
secara imaginal atau mengkodekan peristiwa model ke dalam symbol-simbol verbal
yang mudah dipergunakan. Materi yang bermakna bagi pengamat dan menambah
pengalaman sebelumnya akan lebih mudah diingat. Cara lain untuk mengingat
adalah dengan membayangkan perilaku model atau dengan mempraktekkannya.
Ketrampilan dan struktur kognitif pengamat dapat memperkuat retensi. Motivasi
untuk belajar juga berperan dalam retensi, meskipun intensif lebih bersifat
fasilitatif daripada keharusan.
3) Proses
produksi
Pada tahap tertentu, gambaran simbolik
tentang perilaku model mungkin perlu diterjemahkan ke dalam tindakan yang
efektif. Pengamat memerlukan gambaran kognitif yang akurat tentang perilaku
model untuk dibandingkan dengan umpan balik sensoris dari perbuatannya.
Modeling korektif merupakan cara yang efektif untuk memberikan umpan balik bila
pengamat melakukan kinerja yang tidak tepat. Variable pengamat yang
mempengaruhi reproduksi perilaku mencakup kapasitas fisiknya, apakah
perbendaharaan responnya sudah mencakup komponen-komponen respon yang
diperlukan, dan kemampuannya untuk melakukan penyesuaian korektif bila
mencobakan perilaku baru.
4) Proses
motivasi
Apakah orang mempraktekkan apa yang sudah
dipelajarinya atau tidak, tergantung pada motivasinya. Pengamat akan cenderung
mengadopsi perilaku model jika perilaku tersebut:
a) Menghasilkan
imbalan eksternal
b) Secara
internal pengamat memberikan penilaian yang positif
c) Pengamat
melihat bahwa perilaku tersebut bermanfaat bagi model itu sendiri.
Antisipasi terhadap
akibat yang positif dan negative menentukan aspek-aspek yang mana dari perilaku
model itu yang diamati atau diabaikan oleh pengamat.
c. Modeling untuk proses berpikir
Orang dapat belajar ketrampilan berpikir
dengan mengamati model. Akan tetapi, sering kali proses berpikir yang tersirat
tidak terungkapkan secara memadai oleh tindakan model. Misalnya, seorang model
dapat memecahkan suatu masalah secara kognitif, tetapi pengamat hanya melihat
hasil tindakannya tanpa memahami proses berpikir yang menghasilkan tindakan
tersebut. Satu pendekatan untuk mempelajari ketrampilan kognitif adalah dengan
meminta model menuturkan apa yang dipikirkannya pada saat sedang melaksanakan
kegiatan untuk mengatasi masalahnya. Keuntungan menggabungkan modeling verbal
dengan modeling non-verbal adalah kemampuan modeling nonverbal untuk memperoleh
dan mempertahankan perhatian, dan keefektifan perilaku fisik untuk memberikan
makna tambahan pada proses kognitif. Ketrampilan kognitif pengamat akan semakin
meningkat bila model mendemonstrasikan tindakan dan proses berpikirnya
sekaligus, bukan hanya mendemonstrasikan tindakannya saja.
d. Peranan
Reinforcement (penguatan)
Pandangan kognitif social adalah belajar
melalui pengamatan tidak selalu memerlukan imbalan ekstrinsik. Belajar seperti
ini terjadi melalui pemrosesan kognitif pada saat dan sebelum pengamat
melakukan suatu respon. Dengan model operant
conditioning dari Skinner, yang
hamper sama dengan belajar melalui pengamatan ini, dipandang berhasil apabila
respon yang sesuai tindakan model diberi reinforcement, respon yang tidak
sesuai dihukum atau tidak diberi imbalan, dan perilaku orang lain menjadi
stimulus bagi respon yang cocok. Akan tetapi, penjelasan Skinner tersebut
mengandung beberapa kekurangan. Pengamat mungkin tidak akan melakukan perilaku
model dalam setting yang sama dengan ketika perilaku itu dicontohkan. Baik
pengamat maupun model tidak akan memperoleh reinforcement. Perilaku model
mungkin terjadi lagi beberapa hari atau bahkan beberapa minggu kemudian. Maka
model operant tidak dapat menjelaskan bagaimana struktur respon baru itu
dipelajari melalui pengamatan. Peranan utama insentif dalam observational
learning adalah sebelum, bukan setelah modeling. Misalnya, perhatian pengamat
dapat meningkat dengan antisipasi imbalan dari penggunaan perilaku model. Lebih
jauh, imbalan yang diantisipasi itu dapat memotivasinya untuk mensimbolisasikan
dan berlatih menggunakan keiatan model. Insentif itu lebihbersifat fasilitatif
daripada keharusan.
2. Enactive
Learning
Terdapat perbedaan antara pengetahuan dan
ketrampilan. Dalam banyak domain, orang perlu melampaui struktur pengetahuannya
untuk mengembangkan tindakan yang terampil. Pengembangan ketrampilan menuntut
orang untuk memiliki konsepsi yang tepat mengenai ketrampilan yang
ditargetkannya. Pengalaman merupakan kendaraan untuk menerjemahkan pengetahuan
menjadi ketrampilan.
a) Fungsi
konsekuensi Respon
Teori kognitif social memandang belajar
melalui konsekuensi respon sebagai suatu proses kognitif. Melalui pengalaman,orang
menyadari konsekuensi positif dan negative dari tindakannya.
Akan tetapi, proses belajar itu tidak
berhenti di sini, karena orang melihat dampak responnya. Jadi reinforcement tidak
otomatis memperkuat suatu kecenderungan untuk merespon, tetapi penguatan itu
terjadi dengan mengubah variable kognitif dari informasi dan motivasinya.
Misalnya, dengan menelaah pola pola konsekuensi respon, orang dapat melihat
konsepsi dan aturan-aturan perilaku. Jika konsekuensi respon itu dianggap
tinggi,maka ini mendorong dan memperkuat perilaku.
b) Efisiensi
Enactive Learning
Orang berbeda-beda dalam kemampuannya
untuk memperoleh pengetahuan dari konsekuensi respon. Mereka mungkin berbeda
dalam pengetahuan dan pengalamannya sebelumnya, sehingga berbeda pula dalam
kekayaan aturan yang dapat dipilihnya atau dikembangkannya untuk melaksanakan
sesuatu perilaku jika atura tersebut belum dimilikinya. Belajar akan lebih
efisien bila konsekuensi muncul langsung sesudah tindakan, teratur, dan tanpa
dibingungkan oleh kejadian-kejadian lain. Belajar akan lebih sulit bila
tindakan yang sama tidak selalu menghasilkan konsekuensi yang sama. Belajar
dari pengalaman perbuatan tidak menjamin bahwa cara bertindak alternative
terbaik akan dikembangkan. Belajar dari konsekuensi pengalaman berbuat akan
mengembangkan ketrampilan yang memadai tetapi tidak optimal. Orang cenderung
menerima solusi yang memadai bukannya terus mencari solusi yang lebih baik.
Belajar dari konsekuensi pengalaman
berbuat saja mungkin tidak akan efisien. Jika orang kekurangan kompetensi,
kompetensi tersebut dapat diajarkan secara verbal dengan mengajarkan perilaku
jenis mana yang fungsional. Disamping itu, orang dapat bimbingan secara fisik
untuk melakukan suatu perilaku dan ambil bagian dalam prosedur modeling secara
bertahap. Sebagaimana disebutkan dimuka, teori social kognitif memandang
modeling, yang mengarah pada belajar dengan mengamati melalui proses simbolik,
sebagai cara utama mentransmisikan bentuk-bentuk perilaku baru.
Konsep perilaku dapat dilihat dari berbagai cara. Kemampuan
berperilku artinya adalah jika seseorang akan melakukan suatu perilaku maka dia
harus tahu perilaku apa itu dan memiliki kemampuan untuk melakukannya.
1. Struktur
Kepribadian
Menurut teori social
kognitif, struktur kepribadian individu terdiri dari empat konsep utama yaitu:
a. Competencies-skills
Kompetensi atau skill
adalah kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk menyelesaikan dan menghadapi
masslah dalam hidupnya. Kompetensi meliputi cara berpikir tentang masalah dalam
kehidupan dan kemampuan bertingkah laku dalam menyelesaikan masalah. Skill
adalah kompetensi yang dimiliki individu dalam konteks yang spesifik.
Kompetensi diperoleh melalui interaksi social dan observasi terhadap dunia.
Perkembangan kompetensi kognitif dan tingkah laku juga turut mempengaruhi delay
gratification skill, kemampuan individu dalam menunda kepuasan impuls yang
tidak tepat secara social atau secara potensial membahayakan diri sendiri.
Delay gratification skill ditentukan oleh hasil yang diinginkan, pengalaman
pribadi dimasa lalu serta observasi terhadap konsekuensi yang diterima oleh
model.
b. Belief-expectancies
Sebuah pemikiran
melibatkan beliefs mengenai seperti apa dunia yang sesungguhnya dan seperti apa
masa depan. Ketika beliefs diarahkan pasa masa depan maka disebut expectancies.
Ekspektasi terhadap masa depan merupakan hal utama yang menentukan bagaimana
kita bertingkah laku. Individu memiliki ekspektasi pada tingkah laku yang
diterima oleh orang, reward dan punishment yang mengikuti tingkah laku
tertentu, serta kemampuan individu untuk mengatasi stress dan tantangan. Inti
dari kepribadian adalah pada perbedaan cara dimana manusia sebagai individu
yang unik untuk menerima suatu situasi, mengembangkan ekspektasi mengenai
keadaan yang akan datang, dan menampilkan perbedaan pola perilaku sebagai hasil
dari perbedaan persepsi dan ekspektasi tersebut. Sama halnya dengan kompetensi,
ekspektasi yang dimiliki individu bersifat konstektual. Bandura telah
menekankan bahwa ekspektasi manusia mengenai kemampuan performanya menjadi
kunci dalam prestasi manusia dan kesejahteraannya. Bandura mengacu ekspektasi
tersebut sebagai persepsi dari self-efficacy. Perceived self efficacy kemudian
mengacu pada persepsi seseorang terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk bertindak
dalam situasi yang akan datang. Persepsi self-efficacy menjadi sangat penting
karena mempengaruhi keberhasilan seseorang.
c. Personal
Goal
Goal atau tujuan
berkaitan dengan kemampuan individu untuk mengantisipasi masa depan dan untuk
memotivasi dirinya sendiri. Adanya tujuan dalam hidup dapat mengarahkan
individu untuk membuat prioritas, mengabaikan pengaruh-pengaruh sementara dan
mengorganisasi tingkah laku selama periode waktu tertentu. Goal bukan suatu
system yang kaku, melainkan individu dapat memilih tujuannya tergantung dari
apa yang dinilai paling penting bagi dirinya saat itu, kesempatan apa yang
tersedia di lingkungan dan penilaiannya terhadap self-efficacy dalam mencapai
tujuan,sesuai dengan tuntutan lingkungan.
d. Evaluative
Standards
Individu memiliki
evaluative standards yang merepresentasikan tujuan yang akan dicapai dan
landasan dalam menharapkan reinforcement dari orang lain dan diri sendiri.
Evaluative standards yang melibatkan pemikiran mengenai sesuatu harus seperti
apa, yaitu criteria mental untuk mengevaluasi baik atau buruknya suatu
peristiwa. Hal ini meliputi pengalaman akan emosi seperti malu,bangga, merasa
puas atau tidak puas terhadap dirinya. Evaluative standars yang dipelajari juga
meliputi prinsip-prinsip moral dan etika dalam bertingkah laku. Di dalam
evaluative standards yang dimiliki seseorang terdapat pengaruh eksternal
meskipun berasal dari internal individu. Evaluative standards merupakan hal
yang mendasari motivasi dan performance dari seseorang. Standart evaluasi
sering memicu reaksi emosional. Seseorang merasa bangga bila mencapai standart
performanya dan kecewa ketika gagal mencapai standart tersebut. Hal tersebut
mengarah pada self-evaluation reactions, yaitu seseorang mengevaluasi
tindakannya dan kemudian berespons secara emosional (puas atau tidak puas)
sebagai hasil dari evaluasi.
2. Dinamika
Kepribadian
Menurut teori social
kognitif, fungsi-fungsi kompetensi,ekspektasi, goal dan evaluative standards
dapat berkembang melalui observassi terhadap ornag lain maupun dari pengalaman
diri sendiri. Bandura mengatakan bahwa terdapat dua prinsip teoritis yang harus
digunakan untuk menganalisis dinamika proses kepribadian, yaitu penyebab
perilaku yang disebut dengan reciprocal determinism. Lainnya adalah kerangka
kerja untuk berpikir mengenai proses kepribadian internal yang disebut dengan
cognitive-affective processing system (CAPS).
a. Reciprocal
determinism
Tingkah laku seseorang
dapat dijelaskan berdasarkan interaksi antara orang dengan lingkungan. Manusia
dipengaruhi oleh faktor lingkungan, tetapi manusia juga memilih perilaku yang
akan ditampilkannya. Manusia responsive terhadap situasi dan secara aktif
mengkonstruk dan mempengaruhi situasi. Bandura
tidak menggunakan prinsip faktor lingkungan yang menyebabkan suatu
tingkah laku, namun terdapat hubungan timbal balik antara faktor lingkungan,
tingkah laku dan personal. Personal dapat juga dalam bentuk kemampuan dalam
memecahkan masalah. Sebaliknya lingkungan dan tingkah laku dapat membentuk
kemampuan seseorang untuk mengantisipasi suatu masalah.
b. Cognitive-affective
processing system (CAPS)
Kepribadian harus
dipahami sebagai sebuah system, yang mengacu pada sesuatu yang memiliki
bagian-bagian dalam jumlah yang besar dan saling berinteraksi satu sama lain.
Bagian-bagian yang saling berinteraksi tersebut sering menimbulkan bentuk yang
kompleks dari suatu perilaku. CAPS memiliki tiga cirri khas, yaitu:
1) Aspek
kognitif dan emosi saling berkaitan satu sama lain. Pemikiran mengenai goals
akan memicu pemikiran mengenai skills, dan akhirnya memicu pemikiran
self-efficacy. Pada akhirnya mempengaruhi self-evaluations dan emosi.
2) Aspek
situasi yang berbeda mengaktivasi bagian tertentu dari keseluruhan system
kepribadian.
3) Apabila
situasi yang berbeda mengaktivasi bagian tertentu dari keseluruhan system
kepribadian, maka perilaku manuasi harus berbeda dari satu situasi ke situasi
lainnya.
C.
Model Sosial Kognitif
Pratkanis dan greenwald memberikan dorongan kepada penekanan dalam model
cognitive social, mereka mendefinisikan sikap sebagai evaluasi orang terhadap
suatu objek melalui berfikir. Walau demikian, mereka menghasilkan gambar
sederhana untuk menggambarkan perkembangan teoritis di daerah kognisi social.
Sikap terhadap objek digambarkan dalam memori dengan:
1. Label
objek dan tata cara yang menempel pada label objek tersebut
2. Evaluasi
singkat terhadap objek tertentu
3. Struktur
pengetahuan yang mendukung evaluasi
Struktur pengetahuan
yang mendukung evaluasi
Presentasi of structure in memory Function
Ø Label for the object
Ø Rules for application
|
Ø Evaluasi Summary
|
Ø Supportive knowledge
structure
|
Ø Makes sense of world
Ø Help to deal with
environment
|
Ø Heuristic – a simple
strategy for appraising objects
|
Ø Schematic – organizes
and guides memory for events
|
The
Socio Cognitive model of attitude structure and function
(Source
: Based on suggestions by Pratkanis and Greenwald, 1989)
Meskipun penggunaan istilah kognitif,
Pratkanis dan Greenwald sebenarnya menonjolkan evaluasi. Pada beberapa sumber,
bermacm-macam istilah yang digunakan hamper dapat dipertukarkan dalam
mengartikan komponen ini, seperti pengaruh, evaluasi, emosi dan perasaan. Pada
tahun 1989 Breckler dan Wiggins mendesak istilah yang digunakan dalam konteks
ini. Mereka membedakan antara pengaruh dan evaluasi. Pembuat teori ini mengacu
pada reaksi emosional terhadap obyek sikap, sedangkan yang sekarang lebih
mengacu pada kekhususan pikiran, kepercayaan dan pendapat tentang obyek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Assalamualaikum,..^_^
Jika ada yang mencari materi makalah mengenai mata pelajaran SD - SMA silahkan meninggalkan pesan di komentar. Karna blog ini dibuat untuk memudahkan pembaca mencari informasi. Terimakasih
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.