Upaya
kesehatan dibidang Kesehatan Lingkungan dimaksudkan juga sebagai pencegahan
timbulnya suatu penyakit yang berhubungan dengan lingkungan diantaranya malaria,
diare, kecacingan, dll. Mencegah
adalah lebih baik daripada mengobati bila terjadi suatu penyakit. Untuk itu
diperlukan adanya perilaku hidup bersih dan sehat. Kegiatan dibidang Kesehatan Lingkungan meliputi
pemeriksaan sarana air bersih, tempat-tempat umum, pemeriksaan warung/rumah
makan, pemeriksaan jentik pada tempat penampungan air di rumah penduduk, dan
penyuluhan yang dikaitkan dengan penyakit yang diderita oleh pengunjung
Puskesmas, dalam hal ini pengunjung Puskesmas yang sakitnya berkaitan dengan
kesehatan lingkungan, diberikan penyuluhan oleh petugas Sanitasi pada Klinik
Sanitasi Puskesmas.
KLINIK
SANITASI
A.
LATAR BELAKANG
Menurut
ahli kesehatan HL. Bloom derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh 4 faktor
yaitu : lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan, dan keturunan.
Sampai
saat ini diketahui bahwa permasalahan penyakit terbanyak yang terdapat di
wilayah kerja puskesmas di dominasi oleh penyakit-penyakit yang berhubungan
dengan masalah kesehatan lingkungan.
Disamping itu upaya pengobatan penyakit dan upaya perbaikan lingkungan
dikerjakan secara terpisah dan belum terintegrasi dengan upaya terkait lainnya.
Petugas paramedis/medis mengupayakan pengobatan tanpa memperhatikan kondisi
lingkungan peruamahan/pemukiman pasien, disisi lain petugas kesling
mengupayakan kesehatan lingkungan tanpa memperhatikan permasalahan
penyakit/kesehatan masyarakat.
B.
PENGERTIAN
Klinik
sanitasi merupakan suatu wahana untuk mengatasi masalah kesehatan masyarakat
melalui upaya terintegrasi antara kesehatan lingkungan pemberantasan penyakit
dengan bimbingan, penyuluhan, dan bantuan teknis dari petugas Puskesmas. Klinik
Sanitasi bukan sebagai unit pelayanan yang berdiri sendiri, tetapi sebagai
bagian intergral dari kegiatan Puskesmas, bekerjasama dengan program yang lain
dari sektor terkait di wilayah kerja Puskesmas.
Pasien adalah penderita penyakit yang diduga berkaitan dengan kesehatan
lingkungan yang dirujuk oleh petugas medis ke Ruang Klinik Sanitasi
Klien adalah masyarakat umum bukan penderita penyakit yang datang ke Puskesmas
untuk berkonsultasi tentang masalah yang berkaitan dengan kesehatan lingkungan.
C.
TUJUAN KLINIK SANITASI
Umum
Meningkatnya
derajat kesehatan masyarakat melalui upaya preventif dan kuratif yang dilakukan
secara terpadu, terarah, dan tersusun secara terus-menerus.
Khusus
1.
Meningkatlkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat (pasien dan klien) serta
masyarakat disekitarnya akan pentingnya lingkungan dan perilaku hidup bersih
dan sehat.
2. Masyarakat mampu memecahkan masalah kesehatan yang berhubungan dengan
kesehatan lingkungan.
3. Terciptanya keterpaduan antar program-program kesehatan dan antar sektor
terkait yang dilaksanakan di Puskesmas dengan pendekatan secara holistik
terhadap penyakit-penyakit berbasis lingkungan.
4. Meningkatkan kewaspadaan dini terhadap penyakit-penyakit berbasis lingkungan
melalui Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) secara terpadu (PWS terhadap
lingkungan dan penyakit)
D. SASARAN
1. Penderita Penyakit yang berhubungan dengan masalah kesehatan lingkungan
yang datang ke Puskesmas
2. Masyarakat umum (klien) yang mempunyai masalah kesehatan lingkungan yang
datang ke Puskesmas. Lingkungan penyebab masalah bagi penderita/klien dan
masyarakat sekitarnya.
E. RUANG LINGKUP
1.
Penyakit dan penyehatan air bersih/jamban dalam rangka
pencegahan penyakit diare, kecacingan, dan penyakit kulit.
2.
Penyehatan perumahan/lingkungan dalam rangka pencegahan
penyakit ISPA /TB-Paru/Demam Berdarah/Malaria
3.
Penyehatan lingkungan kerja dalam rangka pencegahan
penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan/akibat kerja.
4.
Penyehatan
makanan/minuman dalam rangka pencegahan penyakit saluran pencernaan / keracunan
makanan.
5.
Pengamanan pestisida dalam rangka pencegahan keracunan
pestisida.
6.
Penyakit atau gangguan kesehatan lainnya yang berhubungan
dengan lingkungan.
F. KEGIATAN KLINIK SANITASI
1.
dalam gedung
Semua pasien yang mendaftar di loket setelah mendapat kartu status seterusnya
diperiksa oleh petugas paramedis/medis Puskesmas. Apabila di dapatkan penderita
penyakit yang behubungan erat dengan faktor lingkungan, maka yang bersangkutan
dirujuk ke ruang klinik sanitasi. Kalau klien, setelah mendaftar di loket,
mereka langsung ke ruang Klinik Sanitasi untuk mendapatkan bimbingan teknis. D
ruang Klinik Sanitasi, sanitarian/tenaga kesling akan melakukan wawancara dan
konseling yang hasilnya ditulis dalam Kartu Status Kesehatan Lingkungan. Selanjutnya sanitarian/petugas kesling
membuat janji kunjungan ke rumah pasien/klien.
2.
Di
luar gedung
Kegiatan di luar gedung ini adalah kunjungan rumah/lokasi sebagai tindak lanjut
kunjungan pasien/klien ke Puskesmas (Klinik Sanitasi). Kunjungan ini sebenarnya
merupakan kegiatan rutin yang lebih dipertajam sasarannya, sesuai hasil
wawancara pasien/klien dengan sanitarian pada waktu di Puskesmas.
Ironis memang ………. Itulah
mungkin kata yang pas untuk lembaga yang bernama rumah sakit (RS). Ternyata
salah satu tempat penyembuhan orang sakit ini justru menjadi sumber penyakit.
Hal ini berkaitan dengan limbah yang dihasilkannya tidak ditangani dengan
benar. Begituah jika limbah cair rumah sakit tidak diolah terlebih dahulu tapi
langsung dibuang ke sungai. Memang harus diakui, rumah sakit merupakan salah
satu sumber penghasil limbah berbahaya, baik limbah padat maupun limbah cair.
Pada artikel ini penulis hanya akan memfokuskan pada penanganan limbah cair.
Limbah
cair yang dihasilkan dari sebuah rumah sakit umumnya banyak mengandung bakteri,
virus, senyawa kimia, dan obat-obatan yang dapat membahayakan bagi kesehatan
masyarakat sekitar rumah sakit tersebut. Dari sekian banyak sumber limbah di
rumah sakit, limbah dari laboratorium paling perlu diwaspadai. Bahan-bahan
kimia yang digunakan dalam proses uji laboratorium tidak bisa diurai hanya
dengan aerasi atau activated sludge. Bahan-bahan itu mengandung logam berat dan
inveksikus, sehingga harus disterilisasi atau dinormalkan sebelum ”dilempar”
menjadi limbah tak berbahaya. Untuk foto rontgen misalnya, ada cairan tertentu
yang mengandung radioaktif yang cukup berbahaya. Setelah bahan ini digunakan.
limbahnya dibuang
Banyak pihak yang menyadari tentang bahaya ini. Namun, lemahnya peraturan
pemerintah tentang pengelolaan limbah rumah sakit mengakibatkan hingga saat ini
hanya sedikit rumah sakit yang memiliki IPAL khusus pengolahan limbah cairnya
Teknologi
pengolahan limbah Teknologi pengolahan
limbah medis yang sekarang jamak dioperasikan hanya berkisar antara masalah
tangki septik dan insinerator. Keduanya sekarang terbukti memiliki nilai
negatif besar. Tangki septik banyak dipersoalkan lantaran rembesan air dari
tangki yang dikhawatirkan dapat mencemari tanah. Terkadang ada beberapa rumah
sakit yang membuang hasil akhir dari tangki septik tersebut langsung ke
sungai-sungai, sehingga dapat dipastikan sungai tersebut mulai mengandung zat
medis.
Sedangkan insinerator, yang menerapkan teknik pembakaran pada sampah medis,
juga bukan berarti tanpa cacat. Badan Perlindungan Lingkungan AS menemukan
teknik insenerasi merupakan sumber utama zat dioksin yang sangat beracun.
Penelitian terakhir menunjukkan zat dioksin inilah yang menjadi pemicu
tumbuhnya kanker pada tubuh.
Yang sangat menarik dari permasalahan ini adalah ditemukaannya teknologi
pengolahan limbah dengan metode ozonisasi. Salah satu metode sterilisasi limbah
cair rumah sakit yang direkomendasikan United States Environmental Protection
Agency (U.S.EPA) tahun 1999. Teknologi ini sebenarnya dapat juga diterapkan
untuk mengelola limbah pabrik tekstil, cat, kulit, dan lain-lain.
Ozonisasi
Proses
ozonisasi telah dikenal lebih dari seratus tahun yang lalu. Proses ozonisasi
atau proses dengan menggunakan ozon pertama kali diperkenalkan Nies dari
Prancis sebagai metode sterilisasi pada air minum pada tahun 1906. Penggunaan
proses ozonisasi kemudian berkembang sangat pesat. Dalam kurun waktu kurang
dari 20 tahun terdapat kurang lebih 300 lokasi pengolahan air minum menggunakan
ozonisasi untuk proses sterilisasinya di Amerika.
Dewasa ini, metode ozonisasi mulai banyak dipergunakan untuk sterilisasi bahan
makanan, pencucian peralatan kedokteran, hingga sterilisasi udara pada ruangan
kerja di perkantoran. Luasnya penggunaan ozon ini tidak terlepas dari sifat
ozon yang dikenal memiliki sifat radikal (mudah bereaksi dengan senyawa
disekitarnya) serta memiliki oksidasi potential 2.07 V. Selain itu, ozon telah
dapat dengan mudah dibuat dengan menggunakan plasma seperti corona discharge.
Melalui proses oksidasinya pula ozon mampu membunuh berbagai macam
mikroorganisma seperti bakteri Escherichia coli, Salmonella enteriditis,
Hepatitis A Virus serta berbagai mikroorganisma patogen lainnya (Crites, 1998).
Melalui proses oksidasi langsung ozon akan merusak dinding bagian luar sel
mikroorganisma (cell lysis) sekaligus membunuhnya.
Juga melalui proses oksidasi oleh radikal bebas seperti hydrogen peroxy
(HO2) dan hydroxyl radical (OH) yang terbentuk ketika ozon terurai dalam air.
Seiring dengan perkembangan teknologi, dewasa ini ozon mulai banyak
diaplikasikan dalam mengolah limbah cair domestik dan industri.
Ozonisasi limbah cair rumah sakit. Proses pengolahan limbah dengan metode ozonisasi adalah
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Limbah cair yang berasal dari berbagai
kegiatan laboratorium, dapur, laundry, toilet, dan lain sebagainya dikumpulkan
pada sebuah kolam equalisasi lalu dipompakan ke tangki reaktor untuk
dicampurkan dengan gas ozon. Gas ozon yang masuk dalam tangki reaktor bereaksi
mengoksidasi senyawa organik dan membunuh bakteri patogen pada limbah cair.
Limbah cair yang sudah teroksidasi kemudian dialirkan ke tangki koagulasi
untuk dicampurkan koagulan. Lantas proses sedimentasi pada tangki berikutnya.
Pada proses ini, polutan mikro, logam berat dan lain-lain sisa hasil proses
oksidasi dalam tangki reaktor dapat diendapkan.
Selanjutnya dilakukan proses penyaringan pada tangki filtrasi. Pada tangki ini
terjadi proses adsorpsi, yaitu proses penyerapan zat-zat pollutan yang
terlewatkan pada proses koagulasi. Zat-zat polutan akan dihilangkan permukaan
karbon aktif. Apabila seluruh permukaan karbon aktif ini sudah jenuh, atau
tidak mampu lagi menyerap maka proses penyerapan akan berhenti, dan pada saat
ini karbon aktif harus diganti dengan karbon aktif baru atau didaur ulang
dengan cara dicuci. Air yang keluar dari filter karbon aktif untuk selanjutnya
dapat dibuang dengan aman ke sungai.
Ozon akan larut dalam air untuk menghasilkan hidroksil radikal (-OH), sebuah
radikal bebas yang memiliki potential oksidasi yang sangat tinggi (2.8 V), jauh
melebihi ozon (1.7 V) dan chlorine (1.36 V). Hidroksil radikal adalah bahan
oksidator yang dapat mengoksidasi berbagai senyawa organik (fenol, pestisida,
atrazine, TNT, dan sebagainya). Sebagai contoh, fenol yang teroksidasi oleh
hidroksil radikal akan berubah menjadi hydroquinone, resorcinol, cathecol untuk
kemudian teroksidasi kembali menjadi asam oxalic dan asam formic, senyawa
organik asam yang lebih kecil yang mudah teroksidasi dengan kandungan oksigen
yang di sekitarnya. Sebagai hasil akhir dari proses oksidasi hanya akan
didapatkan karbon dioksida dan air.
Hidroksil radikal berkekuatan untuk mengoksidasi senyawa organik juga dapat
dipergunakan dalam proses sterilisasi berbagai jenis mikroorganisma,
menghilangkan bau, dan menghilangkan warna pada limbah cair. Dengan demikian
akan dapat mengoksidasi senyawa organik serta membunuh bakteri patogen, yang
banyak terkandung dalam limbah cair rumah sakit.
Pada saringan karbon aktif akan terjadi proses adsorpsi, yaitu proses
penyerapan zat-zat yang akan diserap oleh permukaan karbon aktif. Apabila
seluruh permukaan karbon aktif ini sudah jenuh, proses penyerapan akan
berhenti. Maka, karbon aktif harus diganti baru atau didaur ulang dengan cara
dicuci.
Dalam aplikasi sistem ozonisasi sering
dikombinasikan dengan lampu ultraviolet atau hidrogen peroksida. Dengan melakukan
kombinasi ini akan didapatkan dengan mudah hidroksil radikal dalam air yang
sangat dibutuhkan dalam proses oksidasi senyawa organik. Teknologi oksidasi
ini tidak hanya dapat menguraikan senyawa kimia beracun yang berada dalam
air, tapi juga sekaligus menghilangkannya sehingga limbah padat (sludge)
dapat diminimalisasi hingga mendekati 100%. Dengan pemanfaatan sistem
ozonisasi ini dapat pihak rumah sakit tidak hanya dapat mengolah limbahnya
tapi juga akan dapat menggunakan kembali air limbah yang telah terproses
(daur ulang). Teknologi ini, selain efisiensi waktu juga cukup ekonomis,
karena tidak memerlukan tempat instalasi yang luas.
|
Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas
manusia. Setiap aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah.
Jumlah atau volume serta jenis sampah sebanding dengan tingkat konsumsi kita
terhadap barang/material yang digunakan sehari-hari.
Berdasarkan kamus istilah lingkungan (1994), "Sampah adalah bahan yang
tidak mempunyai nilai atau tidak berharga untuk maksud biasa atau utama dalam
pembikinan atau pemakaian barang rusak atau bercacat dalam pembikinan
manufaktur atau materi berkelebihan atau ditolak atau buangan".
"Sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau
dibuang dari sumber hasil aktivitas manusia maupun proses alam yang belum
memiliki nilai ekonomis." (Istilah Lingkungan untuk Manajemen, Ecolink,
1996).
"Sampah adalah sesuatu yang tidak berguna
lagi, dibuang oleh pemiliknya atau pemakai semula". (Tandjung, Dr. M.Sc.,
1982)
Berangkat dari pandangan tersebut sehingga sampah dapat dirumuskan sebagai
bahan sisa dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Sampah yang harus dikelola
tersebut meliputi sampah yang dihasilkan dari:
- rumah tangga;
- kegiatan komersial:
pusat perdagangan, pasar, pertokoan, hotel, restoran, tempat
hiburan;
- fasilitas sosial:
rumah ibadah, asrama, rumah tahanan/penjara, rumah sakit, klinik,
puskesmas;
- fasilitas umum:
terminal, pelabuhan, bandara, halte kendaraan umum, taman, jalan,
dan trotoar;
- industri;
- fasilitas lainnya:
perkantoran, sekolah.
- hasil pembersihan
saluran terbuka umum, seperti sungai, danau, pantai.
Secara umum, sampah padat dapat dibagi 2, yaitu
sampah organik (biasa disebut sampah basah) dan sampah anorganik (sampah
kering). Sampah Organik terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan
yang diambil dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan atau
yang lain. Sampah ini dengan mudah diuraikan dalam proses alami. Sampah rumah
tangga sebagian besar merupakan bahan organik, misalnya sampah dari dapur, sisa
tepung, sayuran, kulit buah, dan daun.
Sampah Anorganik berasal dari sumber daya alam tak
terbarui seperti mineral dan minyak bumi, atau dari proses industri. Beberapa
dari bahan ini tidak terdapat di alam seperti plastik dan aluminium. Sebagian
zat anorganik secara keseluruhan tidak dapat diuraikan oleh alam, sedang
sebagian lainnya hanya dapat diuraikan dalam waktu yang sangat lama. Sampah jenis
ini pada tingkat rumah tangga, misalnya berupa botol, botol plastik, tas
plastik, dan kaleng.
Kertas, koran, dan karton merupakan pengecualian. Berdasarkan asalnya, kertas,
koran, dan karton termasuk sampah organik. Tetapi karena kertas, koran, dan
karton dapat didaur ulang seperti sampah anorganik lain (misalnya gelas,
kaleng, dan plastik), maka dimasukkan ke dalam kelompok sampah anorganik.
2.2 Dampak Sampah Terhadap
Manusia dan Lingkungan
Sudah kita sadari bahwa pencemaran lingkungan
akibat perindustrian maupun rumah tangga sangat merugikan manusia, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Melalui kegiatan perindustrian dan teknologi
diharapkan kualitas kehidupan dapat lebih ditingkatkan. Namun seringkali
peningkatan teknologi juga menyebabkan dampak negatif yang tidak sedikit.
a. Dampak terhadap Kesehatan
Lokasi dan pengelolaan sampah yang kurang memadai (pembuangan sampah yang tidak
terkontrol) merupakan tempat yang cocok bagi beberapa organisme dan menarik
bagi berbagai binatang seperti lalat dan anjing yang dapat menimbulkan
penyakit.
Potensi bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan adalah sebagai berikut:
• Penyakit diare, kolera, tifus menyebar dengan cepat karena virus yang berasal
dari sampah dengan pengelolaan tidak tepat dapat bercampur air minum. Penyakit
demam berdarah (haemorhagic fever) dapat juga meningkat dengan cepat di daerah
yang pengelolaan sampahnya kurang memadai.
• Penyakit jamur dapat juga menyebar (misalnya jamur kulit).
• Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Salah satu contohnya
adalah suatu penyakit yang dijangkitkan oleh cacing pita (taenia). Cacing ini
sebelumnya masuk ke dalam pencernakan binatang ternak melalui makanannya yang
berupa sisa makanan/sampah.
• Sampah beracun: Telah dilaporkan bahwa di Jepang kira-kira 40.000 orang
meninggal akibat mengkonsumsi ikan yang telah terkontaminasi oleh raksa (Hg).
Raksa ini berasal dari sampah yang dibuang ke laut oleh pabrik yang memproduksi
baterai dan akumulator.
b. Dampak terhadap Lingkungan
Cairan rembesan sampah yang masuk ke dalam drainase atau sungai akan mencemari
air. Berbagai organisme termasuk ikan dapat mati sehingga beberapa spesies akan
lenyap, hal ini mengakibatkan berubahnya ekosistem perairan biologis.
Penguraian sampah yang dibuang ke dalam air akan menghasilkan asam organik dan
gas-cair organik, seperti metana. Selain berbau kurang sedap, gas ini dalam
konsentrasi tinggi dapat meledak.
c. Dampak terhadap Keadaan Sosial dan Ekonomi
Pengelolaan sampah yang kurang baik akan
membentuk lingkungan yang kurang menyenangkan bagi masyarakat: bau yang tidak
sedap dan pemandangan yang buruk karena sampah bertebaran dimana-mana.
• Memberikan dampak negatif terhadap kepariwisataan.
• Pengelolaan sampah yang tidak memadai menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan
masyarakat. Hal penting di sini adalah meningkatnya pembiayaan secara langsung
(untuk mengobati orang sakit) dan pembiayaan secara tidak langsung (tidak masuk
kerja, rendahnya produktivitas).
• Pembuangan sampah padat ke badan air dapat menyebabkan banjir dan akan
memberikan dampak bagi fasilitas pelayanan umum seperti jalan, jembatan,
drainase, dan lain-lain.
• Infrastruktur lain dapat juga dipengaruhi oleh pengelolaan sampah yang tidak
memadai, seperti tingginya biaya yang diperlukan untuk pengolahan air. Jika
sarana penampungan sampah kurang atau tidak efisien, orang akan cenderung
membuang sampahnya di jalan. Hal ini mengakibatkan jalan perlu lebih sering
dibersihkan dan diperbaiki.
2.3 Usaha Pengendalian Sampah
Untuk menangani permasalahan sampah secara menyeluruh perlu dilakukan
alternatif pengolahan yang benar. Teknologi landfill yang diharapkan dapat
menyelesaikan masalah lingkungan akibat sampah, justru memberikan permasalahan
lingkungan yang baru. Kerusakan tanah, air tanah, dan air permukaan sekitar
akibat air lindi, sudah mencapai tahap yang membahayakan kesehatan masyarakat,
khususnya dari segi sanitasi lingkungan.
Gambaran yang paling mendasar dari penerapan
teknologi lahan urug saniter (sanitary landfill) adalah kebutuhan lahan dalam
jumlah yang cukup luas untuk tiap satuan volume sampah yang akan diolah.
Teknologi ini memang direncanakan untuk suatu kota yang memiliki lahan dalam
jumlah yang luas dan murah. Pada kenyataannya, lahan di berbagai kota besar di
Indonesia dapat dikatakan sangat terbatas dan dengan harga yang tinggi pula.
Dalam hal ini, penerapan lahan urug saniter sangatlah tidak sesuai.
Berdasarkan pertimbangan di atas, dapat
diperkirakan bahwa teknologi yang paling tepat untuk pemecahan masalah di atas,
adalah teknologi pemusnahan sampah yang hemat dalam penggunaan lahan. Konsep
utama dalam pemusnahan sampah selaku buangan padat adalah reduksi volume secara
maksimum. Salah satu teknologi yang dapat menjawab tantangan tersebut adalah
teknologi pembakaran yang terkontrol atau insinerasi, dengan menggunakan
insinerator. Teknologi insinerasi membutuhkan luas lahan yang lebih hemat, dan
disertai dengan reduksi volume residu yang tersisa ( fly ash dan bottom ash )
dibandingkan dengan volume sampah semula.
Ternyata pelaksanaan teknologi ini justru lebih
banyak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan berupa pencemaran udara.
Produk pembakaran yang terbentuk berupa gas buang COx, NOx, SOx, partikulat,
dioksin, furan, dan logam berat yang dilepaskan ke atmosfer harus dipertimbangkan.
Selain itu proses insinerator menghasilakan Dioxin yang dapat menimbulkan
gangguan kesehatan, misalnya kanker, sistem kekebalan, reproduksi, dan masalah
pertumbuhan.
Global Anti-Incenatot Alliance (GAIA) juga menyebutkan bahwa insinerator juga
merupakan sumber utama pencemaran Merkuri. Merkuri merupakan racun saraf yang
sangat kuat, yang mengganggu sistem motorik, sistem panca indera dan kerja
sistem kesadaran.
Belajar dari kegagalan program pengolahan sampah di atas, maka paradigma penanganan
sampah sebagai suatu produk yang tidak lagi bermanfaat dan cenderung untuk
dibuang begitu saja harus diubah. Produksi Bersih (Clean Production) merupakan
salah satu pendekatan untuk merancang ulang industri yang bertujuan untuk
mencari cara-cara pengurangan produk-produk samping yang berbahaya, mengurangi
polusi secara keseluruhan, dan menciptakan produk-produk dan limbah-limbahnya
yang aman dalam kerangka siklus ekologis.
Prinsip-prinsip Produksi Bersih adalah
prinsip-prinsip yang juga bisa diterapkan dalam keseharian, misalnya, dengan
menerapkan Prinsip 4R, yaitu:
1. Reduce (Mengurangi); sebisa mungkin lakukan minimalisasi barang atau
material yang kita pergunakan. Semakin banyak kita menggunakan material,
semakin banyak sampah yang dihasilkan.
2. Re-use (Memakai kembali); sebisa mungkin pilihlah barang-barang yang bisa
dipakai kembali. Hindari pemakaian barang-barang yang disposable (sekali pakai,
buang). Hal ini dapat memperpanjang waktu pemakaian barang sebelum ia menjadi
sampah.
3. Recycle (Mendaur ulang); sebisa mungkin, barang-barang yg sudah tidak
berguna lagi, bisa didaur ulang. Tidak semua barang bisa didaur ulang, namun
saat ini sudah banyak industri non-formal dan industri rumah tangga yang
memanfaatkan sampah menjadi barang lain. Teknologi daur ulang, khususnya bagi
sampah plastik, sampah kaca, dan sampah logam, merupakan suatu jawaban atas
upaya memaksimalkan material setelah menjadi sampah, untuk dikembalikan lagi
dalam siklus daur ulang material tersebut.
4. Replace ( Mengganti); teliti barang yang kita pakai sehari-hari. Gantilah
barang barang yang hanya bisa dipakai sekalai dengan barang yang lebih tahan
lama. Juga telitilah agar kita hanya memakai barang-barang yang lebih ramah
lingkungan, Misalnya, ganti kantong keresek kita dnegan keranjang bila
berbelanja, dan jangan pergunakan styrofoam karena kedua bahan ini tidak bisa
didegradasi secara alami.
Selain itu, untuk menunjang pembangunan yang berkelanjutan ( sustainable
development ), saat ini mulai dikembangkan penggunaan pupuk organik yang
diharapkan dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia yang harganya kian
melambung. Penggunaan kompos telah terbukti mampu mempertahankan kualitas unsur
hara tanah, meningkatkan waktu retensi air dalam tanah, serta mampu memelihara
mikroorganisme alami tanah yang ikut berperan dalam proses adsorpsi humus oleh
tanaman.
Penggunaan kompos sebagai produk pengolahan sampah
organik juga harus diikuti dengan kebijakan dan strategi yang mendukung.
Pemberian insentif bagi para petani yang hendak mengaplikasikan pertanian
organik dengan menggunakan pupuk kompos, akan mendorong petani lainnya untuk
menjalankan sistem pertanian organik. Kelangkaan dan makin membubungnya harga
pupuk kimia saat ini, seharusnya dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk
mengembangkan sistem pertanian organik.
2.3 Peran Pemerintah dalam
Menangani Sampah
Dari perkembangan kehidupan masyarakat dapat disimpulkan bahwa penanganan
masalah sampah tidak dapat semata-mata ditangani oleh Pemerintah Daerah
(Pemerintah Kabupaten/Kota). Pada tingkat perkembangan kehidupan masyarakat
dewasa ini memerlukan pergeseran pendekatan ke pendekatan sumber dan perubahan
paradigma yang pada gilirannya memerlukan adanya campur tangan dari Pemerintah.
Pengelolaan sampah meliputi
kegiatan pengurangan, pemilahan, pengumpulan, pemanfaatan, pengangkutan,
pengolahan. Berangkat dari pengertian pengelolaan sampah dapat disimpulkan
adanya dua aspek, yaitu penetapan kebijakan (beleid, policy) pengelolaan
sampah, dan pelaksanaan pengelolaan sampah.
Kebijakan pengelolaan sampah
harus dilakukan oleh Pemerintah Pusat karena mempunyai cakupan nasional.
Kebijakan pengelolaan sampah ini meliputi :
1) Penetapan instrumen kebijakan:
a) instrumen regulasi: penetapan aturan kebijakan (beleidregels), undang-
undang dan hukum yang jelas tentang sampah dan perusakan lingkungan
b) instrumen ekonomik: penetapan instrumen ekonomi untuk mengurangi
beban penanganan akhir sampah (sistem insentif dan disinsentif) dan
pemberlakuan pajak bagi perusahaan yang menghasilkan sampah, serta
melakukan uji dampak lingkungan
2) Mendorong pengembangan upaya mengurangi (reduce), memakai kembali (re-
use), dan mendaur-ulang (recycling) sampah, dan mengganti (replace);
3) Pengembangan produk dan kemasan ramah lingkungan;
4) Pengembangan teknologi, standar dan prosedur penanganan sampah:
• Penetapan kriteria dan standar minimal penentuan lokasi penanganan
akhir sampah;
• penetapan lokasi pengolahan akhir sampah;
• luas minimal lahan untuk lokasi pengolahan akhir sampah;
• penetapan lahan penyangga.
Cara pengendalian sampah yang paling sederhana adalah dengan menumbuhkan
kesadaran dari dalam diri untuk tidak merusak lingkungan dengan sampah. Selain
itu diperlukan juga kontrol sosial budaya masyarakat untuk lebih menghargai
lingkungan, walaupun kadang harus dihadapkan pada mitos tertentu. Peraturan
yang tegas dari pemerintah juga sangat diharapkan karena jika tidak maka para
perusak lingkungan akan terus merusak sumber daya.
Menurut Direktur Eksekutif Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Selamet Daroyni melihat, kasus
Bantar Gebang dan Leuwigajah menunjukkan belum seriusnya pemerintah menangani
masalah sampah. Ketidakseriusan itu tergambar antara lain dari tidak adanya
urgensi pemerintah dalam mendorong keberadaan Undang-Undang (UU) Persampahan sebagai
payung hukum dalam pengelolaan sampah secara nasional. Landasan hukum
pengelolaan sampah yang ada sekarang ini baru peraturan daerah (perda), yang
notabene hanya berurusan dengan retribusi kalau ada yang membuang sampah
sembarangan. Ide UU Persampahan itu sudah kita usulkan sejak 1995 dan kita
kampanyekan lebih kencang lagi tahun 2000. Tetapi, sampai hari ini tak jelas
nasibnya.
Pelaksanaan Perda pun kerap terjadi pelanggaran, penyebabnya adalah karena
pemerintah kurang tegas dalam menindak masyarakat yang melanggar, terutama
pihak pengusaha yang menimbulkan sampah yang membahayakan lingkungan. Selain
itu kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan hidupnya sangat rendah, ini
berkaitan dengan pemahaman tentang agama serta tingkat kesejahteraa masyarakat.
Pada negara maju, kepedulian atas kebersihan lingkungan sangat tinggi.
Keberadaan Undang-Undang
persampahan dirasa sangat perlukan. Undang-Undang ini akan mengatur hak,
kewajiban, wewenang, fungsi dan sanksi masing-masing pihak. UU juga akan mengatur
soal kelembagaan yang terlibat dalam penanganan sampah. Menurut dia, tidak
mungkin konsep pengelolaan sampah berjalan baik di lapangan jika secara
infrastruktur tidak didukung oleh departemen-departemen yang ada dalam
pemerintahan.
Demikian pula pengembangan sumber daya manusia (SDM). Mengubah budaya
masyarakat soal sampah bukan hal gampang. Tanpa ada transformasi pengetahuan,
pemahaman, kampanye yang kencang. Ini tak bisa dilakukan oleh pejabat setingkat
Kepala Dinas seperti terjadi sekarang. Itu harus melibatkan dinas pendidikan
dan kebudayaan, departemen agama, dan mungkin Depkominfo.
Di beberapa negara, seperti Filipina, Kanada, Amerika Serikat, dan Singapura
yang mengalami persoalan serupa dengan Indonesia, sedikitnya 14 departemen
dilibatkan di bawah koordinasi langsung presiden atau perdana menteri.
Sebagai contoh kegagalan proyek incinerator (pembakaran sampah) yang dibangun
DKI, yang ternyata tidak efisien, malahan mengakibatkan pencemaran dan akhirnya
ditelantarkan begitu saja karena tak sesuai dengan karakteristik sampah
Jakarta.
Upaya yang dilakukan pemerintah
dalam usaha mengatasi masalah sampah yang saat ini mendapatkan tanggapan pro
dan kontra dari masyarakat adalah pemberian pajak lingkungan yang dikenakan
pada setiap produk industri yang akhirnya akan menjadi sampah. Industri yang
menghasilkan produk dengan kemasan, tentu akan memberikan sampah berupa kemasan
setelah dikonsumsi oleh konsumen. Industri diwajibkan membayar biaya pengolahan
sampah untuk setiap produk yang dihasilkan, untuk penanganan sampah dari produk
tersebut.
Dana yang terhimpun harus dibayarkan pada pemerintah selaku pengelola IPS untuk
mengolah sampah kemasan yang dihasilkan. Pajak lingkungan ini dikenal sebagai
Polluters Pay Principle. Solusi yang diterapkan dalam hal sistem penanganan
sampah sangat memerlukan dukungan dan komitmen pemerintah. Tanpa kedua hal
tersebut, sistem penanganan sampah tidak akan lagi berkesinambungan.
Tetapi dalam pelaksanaannya
banyak terdapat benturan, di satu sisi, pemerintah memiliki keterbatasan
pembiayaan dalam sistem penanganan sampah. Namun di sisi lain, masyarakat akan
membayar biaya sosial yang tinggi akibat rendahnya kinerja sistem penanganan
sampah. Sebagai contoh, akibat tidak tertanganinya sampah selama beberapa hari
di Kota Bandung, tentu dapat dihitung berapa besar biaya pengelolaan lingkungan
yang harus dikeluarkan akibat pencemaran udara ( akibat bau ) dan air lindi,
berapa besar biaya pengobatan masyarakat karena penyakit bawaan sampah (
municipal solid waste borne disease ), hingga menurunnya tingkat produktifitas
masyarakat akibat gangguan bau sampah.
Pemerintah berkewajiban untuk
memberikan subsidi investasi dalam hal IPS dan juga sebagian subsidi biaya
pengoperasian-pemeliharaan-perawatan IPS. Sebagian investasi infrastruktur
dibiayai oleh pemerintah, sementara biaya pengoperasian-pemeliharaan-perawatan
diserahkan pada masyarakat. Bagi suatu kebutuhan sarana dasar, seperti air
minum, biaya investasi disediakan oleh pemerintah, namun biaya
pengoperasian-pemeliharaan-perawatan dibebankan pada masyarakat selaku
konsumen. Hal ini dikarenakan peran air minum sebagai kebutuhan dasar
masyarakat ( basic needs ).
Pengelolaan Limbah Rumah Sakit
Jutaan jenis sumber penyakit setiap saat mengancam
lingkungan kita. Sebagiannya
berasal dari limbah, baik limbah industri, limbah rumah tangga maupun limbah rumah
sakit. Penelitian dan
pencarian solusi terus dilakukan. Tantangan ke depan adalah
bagaimana mendaur ulang limbah yang ditakuti
menghasilkan bahan yang dibutuhkan.
Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang
Pokok-Pokok Kesehatan menyebutkan
bahwa setiap warga negara Indonesia berhak
memperoleh derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya. Oleh karena itu Pemerintah
menyelenggarakan usaha-usaha
pencegahan dan pemberantasan penyakit, pencegahan
dan penanggulangan pencemaran,
pemulihan kesehatan, penerangan dan pendidikan
kesehatan pada rakyat dan lain
sebagainya. Usaha peningkatan dan pemeliharaan
kesehatan harus dilakukan secara terus
menerus, sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan di bidang kesehatan.
Sejalan
dengan itu, perlindungan terhadap bahaya
pencemaran lingkungan juga perlu mendapat
perhatian khusus dan diharapkan mengalami
kemajuan.
Makin disadari bahwa kegiatan rumah sakit
(RS) yang sangat kompleks tidak saja
memberikan dampak positif bagi masyarakat
sekitarnya, tapi juga mungkin dampak
negative berupa cemaran akibat proses kegiatan
maupun limbah yang dibuang tanpa
pengelolaan yang benar. Limbah
berupa virus dan kuman yang berasal dan Laboratorium
Virologi dan Mikrobiologi dapat membahayakan
kesehatan para petugas, pasien maupun
masyarakat. Sampai saat ini belum ada alat
penangkalnya sehingga sulit dideteksi. Selain
itu, limbah cair, limbah padat dan limbah gas yang
dihasilkan RS dapat pula menjadi
media penyebaran gangguan atau penyakit, berupa
pencemaran udara, pencemaran air,
tanah, pencemaran makanan dan minuman.
Pengelolaan limbah RS yang tidak
baik akan memicu resiko terjadinya kecelakaan kerja
dan penularan penyakit dari pasien ke pekerja,
dari pasien ke pasien, dari pekerja ke
pasien, maupun dari dan kepada masyarakat
pengunjung RS. Tentu saja RS sebagai
institusi yang sosio-ekonomis karena tugasnya
memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat, tidak terlepas dari tanggung jawab pengelolaan limbah yang dihasilkan.
Untuk menjamin keselamatan dan kesehatan awak RS
maupun orang lain yang berada di
lingkungan RS dan sekitarnya, Pemerintah (dhi
Depkes) telah menyiapkan perangkat
lunak berupa peraturan, pedoman dan kebijakan yang
mengatur pengelolaan dan
peningkatan kesehatan di lingkungan RS, termasuk pengelolaan
limbah RS.
Di samping itu secara
bertahap dan berkesinambungan Depkes juga telah mengupayakan
instalasi pengelolaan
limbah pada RS-RS pemerintah. Namun pengelolaan
limbah
tersebut masih perlu ditingkatkan lagi. Tantangan ke depan adalah bagaimana
"menyulap" limbah yang semula menjadi sumber
penyakit yang ditakuti masyarakat
menjadi bahan yang dapat didaur ulang, misalnya
menjadi air bersih, pupuk, atau energi
yang dibutuhkan masyarakat.
Potensi pencemaran limbah RS
Dalam profil kesehatan Indonesia, Depkes, 1997,
diungkapkan seluruh RS di
Indonesia
berjumlah 1090 dengan 121.996 tempat tidur. Hasil
kajian terhadap 100 RS di Jawa
dan
Bali menunjukkan, rata-rata produksi sampah kering 3,2 kilogram/ tempat
tidur/hari, dan
produksi limbah cair 416,8 liter/tempat
tidur/hari. Di negara maju, jumlah limbah RS
diperkirakan 0,5 -0,6 kilogram/tempat tidur/hari.
Analisis lebih jauh menunjukkan, produksi limbah
padat 76,8 persen dan limbah infektius
23,2 persen. Diperkirakan secara nasional produksi
sampah (limbah padat) RS sebesar
376.089 ton/hari dan produksi limbah cair
48.985,70 ton/hari. Dapat dibayangkan betapa
besar potensi RS untuk mencemari lingkungan dan
kemgngkinannya menimbulkan
kecelakaan serta penularan penyakit.
Dampak terhadap kesehatan lingkungan
Limbah RS mengandung bermacam mikroorganisme
bergantung pada jenis RS dan
tingkat pengolahannya sebelum dibuang. Limbah cair
RS dapat mengandung bahan
organik dan anorganik yang umumnya diukur dengan
parameter BOD, COD, TSS, dan
lain-lain. Sedangkan limbah padat RS terdiri atas sampah yang mudah membusuk, mudah
terbakar, dan Iain-lain. Limbah-limbah tersebut
kemungkinan besar mengandung
mikroorganisme pathogen atau bahan kimia beracun
berbahaya . (B3) yang dapat
menyebabkan penyakit infeksi dan dapat tersebar ke
lingkungan RS gara-gara teknik
pelayanan kesehatan yang kurang memadai, kesalahan
penanganan bahan-bahan
terkontaminasi dan peralatan, serta penyediaan dan
pemeliharaan sarana sanitasi yang
masih buruk.
Pembuangan limbah yang cukup besar ini paling baik
jika dilakukan dengan memilah-
milah limbah ke dalam pelbagai kategori dan
masing-masing jenis kategori dibuang
dengan cara yang berbeda. Prinsip umum pembuangan
limbah RS adalah sejauh mungkin
menghindari resiko kontaminsai dan trauma
(injury).
Jenis-jenis limbah RS meliputi limbah klinik,
limbah bukan klinik, limbah patologi,
limbah dapur, dan limbah radioaktif. Limbah Klinik
dihasilkan selama pelayanan pasien
secara rutin, pembedahan dan di unit-unit resiko tinggi. Contohnya
perban (pembalut)
yang kotor, cairan badan, anggota badan yang
diamputasi, jarum dan semprit bekas,
kantung urin dan produk darah. Limbah ini mungkin
berbahaya dan mengakibatkan
resiko tinggi infeksi kuman terhadap pasien lain,
staf rumah sakit dan populasi umum
(pengunjung RS dan penduduk sekitar RS). Oleh
karena itu perlu diberi label yang jelas
sebagai resiko tinggi.
Limbah bukan klinik meliputi kertas-kertas
pembungkus atau kantong dan plastik yang
tidak berkaitan dengan cairan badan. Meskipun tidak
menimbulkan resiko penyakit,
limbah ini cukup merepotkan karena memerlukan
tempat yang besar untuk mengangkut
dan mambuangnya.
Limbah patologi juga dianggap beresiko tinggi dan
sebaiknya di-otoklaf sebelum
keluar
dari unit patologi. Limbah ini pun harus diberi
label biohazard.
Limbah dapur mencakup sisa-sisa makanan dan air
kotor. Berbagai serangga seperti
kecoa, kutu dan tikus merupakan gangguan bagi
staf, pasien maupun pengunjung rumah
sakit.
Limbah radioaktif walaupun tidak menimbulkan
persoalan pengendalian infeksi di
rumah
sakit, pembuangannya secara
aman perlu diatur dengan baik .
Upaya pengelolaan
limbah RS
Pengolahan limbah pada dasarnya merupakan upaya
mengurangi volume, konsentrasi
atau bahaya limbah, setelah proses produksi atau
kegiatan, melalui proses fisika, kimia
atau hayati. Upaya pertama yang harus dilakukan
adalah upaya preventif yaitu
mengurangi volume bahaya limbah yang dikeluarkan
ke lingkungan yang meliputi upaya
mengurangi limbah pada sumbernya, serta upaya
pemanfaatan limbah.
Program minimisasi limbah di Indonesia baru mulai digalakkan, bagi
RS masih
merupakan hal baru, yang tujuannya untuk
mengurangi jumlah limbah dan pengolahan
limbah yang masih mempunyai nilai ekonomis.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk
mengungkapkan pilihan teknologi mana yang terbaik
untuk pengolahan limbah,
khususnya limbah berbahaya antara lain reduksi
limbah (wasfe reduction), minimisasi
limbah (waste minimization), pemberantasan limbah
(waste abatement), pencegahan
peF&emaran (waste prevention) dan reduksi pada
sumbemya (source reduction).
Reduksi limbah pada sumbernya merupakan prioritas atas
dasar pertimbangan antara lain
meningkatkan efisiensi kegiatan, biaya pengolahannya
relatif murah dan pelaksanaannya
relatif mudah.
Berbagai cara yang digunakan untuk reduksi limbah pada
sumbernya adalah:
1. House keeping yang baik, dilakukan demi menjaga
kebersihan lingkungan dengan
mencegah terjadinya ceceran, tumpahan atau kebocoran
bahan serta menangani limbah
yang terjadi dengan sebaik mungkin.
2. Segregasi aliran limbah, yakni memisahkan
berbagai jenis aliran limbah menurut jenis
komponen, konsentrasi atau keadaanya, sehingga
dapat mempermudah, mengurangi
volume, atau mengurangi biaya pengolahan limbah.
3. Preventive maintenance, yakni
pemeliharaan/penggantian alat atau bagian alat menurut
waktu yang telah dijadwalkan.
4. Pengelolaan
bahan (material inventory), suatu upaya agar persediaan bahan selalu
cukup untuk ; menjamin kelancaran proses kegiatan,
namun tidak berlebihan sehingga
tidak menimbulkan gangguan lingkungan, sedangkan
penyimpanan agar tetap rapi dan
terkontrol.
5. Pemilihan teknologi dan proses yang tepat untuk
mengeluarkan limbah B3 dengan
efisiensi yang cukup tinggi, sebaiknya dilakukan sejak
awal pengembangan rumah sakit
baru atau penggantian sebagian unitnya.
6. Penggunaan kantung limbah dengan warna berbeda
untuk memilah-milah limbah di
tempat sumbernya, misalnya limbah klinik dan bukan
klinik. Kantung plastic cukup
mahal, sebagai gantinya dapat digunakan kantung
kertas yang tahan bocor, dibuat secara
lokal sehingga mudah diperoleh. Kantung kertas ini
dapat ditempeli strip berwarna,
kemudian ditempatkan di tong dengan kode warna di
bangsal dan unit-unit lain.
Teknologi pengolahan limbah
Teknologi pengolahan limbah medis yang sekarang
jamak dioperasikan hanya berkisar
antara masalah tangki septik dan insinerator
(pembakaran). Keduanya sekarang terbukti
memiliki nilai negatif besar. Tangki septik banyak
dipersoalkan lantaran rembesan air
dari tangki yang dikhawatirkan dapat mencemari
tanah. Terkadang ada beberapa rumah
sakit yang membuang hasil
akhir dari tangki septik tersebut langsung ke sungai-sungai,
sehingga dapat dipastikan sungai tersebut
tercermari zat medis.
Insinerator, yang menerapkan teknik pembakaran
pada sampah medis, juga bukan
berarti
tanpa cacat. Badan Perlindungan Lingkungan AS
(United States Environmental
Protection Agency -USEPA) menemukan teknik
insenerasi merupakan sumber utama zat
dioksin yang sangat beracun. Penelitian terakhir menunjukkan
zat dioksin ini menjadi
pemicu tumbuhnya kanker pada tubuh.
Hal yang sangat menarik dari permasalahan ini adalah
ditemukannya teknologi pengolahan limbah dengan metode ozonisasi, satu
metode sterilisasi limbah cair rumah sakit
yang direkomendasikan USEPA pada tahun
1999. Teknologi ini sebenarnya dapat juga
diterapkan untuk mengelola limbah pabrik
tekstil, cat, kulit, dan lain-lain.
Ozonisasi limbah medis
Limbah cair yang dihasilkan RS umumnya banyak
mengandung bakteri, virus, senyawa
kimia, dan obat-obatan yang dapat membahayakan
bagi kesehatan masyarakat sekitar RS
tersebut. Limbah dari laboratorium paling perlu
diwaspadai. Bahan-bahan kimia yang
digunakan dalam proses uji laboratorium tidak bisa
diurai hanya dengan aerasi atau
activated sludge. Bahan-bahan itu mengandung logam
berat dan infektius, sehingga harus
disterilisasi atau dinormalkan sebelum
"dilempar" menjadi limbah tak berbahaya. Foto
rontgen misalnya, menggunakan cairan tertentu yang
mengandung radioaktif yang cukup
berbahaya. Setelah bahan ini digunakan. limbahnya
dibuang.
Sebenarnya, proses ozonisasi telah dikenal lebih
dari seratus tahun lalu. Proses ozonisasi
pertama kali diperkenalkan pada tahun 1906 oleh
Nies dari Prancis sebagai metode
sterilisasi air minum. Penggunaan proses ozonisasi
kemudian berkembang sangat pesat.
Dewasa ini, metode ozonisasi mulai banyak
digunakan untuk sterilisasi bahan makanan,
pencucian peralatan kedokteran, hingga sterilisasi
udara pada ruangan kerja di
perkantoran.
Dengan pemanfaatan sistem ozonisasi ini pihak RS
tidak hanya dapat mengolah
iimbahnya tapi juga akan dapat menggunakan kembali air
limbah yang telah terproses
(daur ulang). Teknologi ini, selain efisiensi waktu
juga cukup ekonomis, karena tidak
memerlukan tempat instalasi yang luas.